07-08-2013
Tahun yang ke 20 aku merayakan
lebaran dirumah. Fantastis. Tak aku sudah berkepala dua. Tapi, jangan dikira
aku berumur 20 tahun, aku sudah menginjak umur 22,5 tahun. Itu artinya 2 tahun
pernah kulewati idul fitri dirumah. Yang pertama, ketika aku duduk di kelas 3
Tsanawiyah, ketika kakekku meninggal. Dan yang kedua ketika aku duduk di kelas
2 Aliyah, ketika kiaiku menyuruh kami yang
untuk tidak pulang hingga kelulusan kelas 3.
Lebaran tahun ini berbeda dengan
lebaran-lebaran sebelumnya. Musholla ditempatku sangat sepi. Tak ada satu orang pun
yang mengumandangkan takbiran diiringi tabuhan-tabuhan beduk oleh warga
sekitar. Anak-anak kecil yang biasanya antusias untuk memegang mikrofon dimalam
kemenangan ini telah menghilang bagai ditelan zaman. Ibu-ibu yang dulu menuntun
anak-anaknya ke mushola kini entah kemana. Terlebih ketika diluar bulan ramadhan,
tempat ibadah ini kerap kali tak ada imam maupun muadzin yang menumandangkan
adzan.Miris.
Keluargaku sendiri memang setiap
tahun tak pergi kemushola. Kami hanya berdiam dirumah untuk menyambut tamu yang
datang. Maklum, kami masih hidup menumpang bersama nenek. Itu pertanda
paman-bibiku datang ketika malam lebaran tiba. Apalagi tahun ini kondisi nenek
tak memungkinkan untuk ditinggal jauh-jauh. Mau tak mau kami harus tetap berada
dirumah, kecuali ada hal yang penting.
“Yah, temenin ke Karangampel dong,”
pintaku pada ayah.
“Ngapain?” tanyanya datar.
“Pengen beli kaos kaki,” jawabku
cepat.
“Lho, bukannya udah banyak kaos
kaki ya?” tanyanya lagi.
“Yang itu beda yah, itu punya
Via. Bukan punyaku,” ucapku memelas.
“Ya sudah, hayuk,” ucapnya
mengabulkan.
“Aku ikut yaaah,” teriak Ahmad,
adik bontotku.
“Jangan, disini aja sama Teh
Via,” ucapnya.
“Nggak papa yah, biarin aja. Asal
nggak ngantuk,” usulku.
Ayah terdiam beberapa saat.
“Ya sudah, tapi adek jangan
ngantuk ya,” katanya mengingatkan.
Ahmad mengangguk.
***
Sepanjang perjalanan tak ada satu
pun dari kami yang bersuara. Namun, suara-suara takbiran, petasan dan kembang
api yang bertebaran disepanjang jalan sudah sangat cukup mewakili kebahagiaan
dan sukacita kami dimalam ini. Dari sekian banyak warung yang tutup, ada pula
yang tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini dengan berjualan bensin dan makanan
ringan dijalan. Beberapa anak bergelombol hanya sekedar ngobrol-ngobrol ringan.
Disisi lain, ada yang merayakannya dengan mabuk-mabukan. Yang melewati tempat
tersebut hanya bisa menggelengkan kepala dan bersumpah serapah dibelakang. Ya,
karena jika mereka melarang berarti menghancurkan kebahagiaan dimalam indah
ini. Walaupun demikian obor dan lampu warna-warni tetap tak peduli dengan
keadaan sekitar. Ia akan tetap tersenyum menghiasi sepanjang jalan desa kami.
Nuansa romantis kental diiringi alunan
takbiran yang syahdu sangat menyentuh kalbu.
“Yah, liat yah. Itu kembang
apinya bagus banget!!!” seru Ahmad.
“Iya,” Ayah tersenyum.
“Nanti aku beli ya yah, yang
banyak,”pintanya.
“Nggak usah dek, dirumah kan udah
ada. Ngapain beli lagi. Kan sayang,” aku melarang.
“Nggak mau, pokoknya beli yang
banyak,” Ahmad kembali merajuk.
“Iya, iya. Nanti kita beli lagi,”
ucap ayah menengahi.
Itu lah yang tak kusuka dari
Ayah. Selalu mengabulkan apa yang diminta Ahmad. Tapi mau bagaimana lagi, jika
tidak dikabulkan kami lah yang akan susah untuk menghentikan aksi nekatnya.
Disepanjang pasar tradisional
yang biasanya sepi, hari ini sangat ramai. Jalanan yang biasanya lengang, malam
ini padat merayap. Jalur-jalur tikus persimpangan perlintasan sepeda motor
semuanya ditutup. Lampu rambu lalu lintas yang biasanya eror hari ini menyala. Puluhan
satpol PP yang biasanya duduk santai atau tidur nyaman dirumah ketika malam
hari, kini siap siaga berjaga disetiap pos yang telah ditentukan. Dan aku yang
biasanya sudah terlelap dirumah pun masih berkeliaran mencari kaos kaki di
toko. Ajaib. Lebaran sangat merubah segalanya.
Bersambung...